Tuban adalah salah satu kota yang melahirkan ulama' ulama' besar yang kiprahnya sangat diperhitungkan di tingkat nasional, salah satunya adalah Kiai Abul fadhal senori Tuban, bahkan Ulama' tumur tengah mengakui keilmuan ulama' nyentrik ini, karya-karyanya menjadi bahan kajian yang menarik bagi mereka karena memiliki tata bahasa yang sangat menarik bahkan bermuatan ilmu yang sangat mendalam.
Senori
adalah nama salah satu desa di Tuban, letaknya hanya beberapa kilometer dari
kota Lasem, disitulah kiai Fadhal tinggal dan mengabdikan dirinya untuk Agama
Islam, semasa hidupnya, Kiai Abul Fadhal dikenal sebagai seorang sufi yang
nyentrik. Kita bayangkan saja pada era 70-an ia mampu merangkai bronfit,
modifikasi sepedah motor dan sepedah pancal, ia juga pandai mereparasi
barang-barang elektronik seperti radio, televisi , kipas angin, dan lain
sebagainya. Padahal, ia sama sekali tidak pernah belajar otomotif dan
elektronik, karena ia tinggal jauh diplosok pedesaan.
Ia
bekerja seperti halnya orang Awam demi mencukupi kebutuhan diri dan
keluarganya. Berbagai pekerjaan pernah dijalaninya, seperti menjadi buruh
jahit, kuli membuat aspal jalan, jualan benang, membuka reparasi sepedah pancal
dan sepedah motor, ia juga pernah menjadi bos becak, dan juga pernah mendirikan
pabrik rokok, dan lain sebagainya, ia menjalani semua itu dengan penuh
keikhlasan dan kesabaran, pernah suatu ketika ia berjalan kaki dari daerah
kerek tuban sampai sedan rembang, sambil memikul barang dagangannya padahal,
jarak kedua daerah itu terbilang sangat jauh dan benang yang dipikul juga tidak
ringan.
N
amun demikian, kiai fadhal bekrja bukan untuk menumpuk harta dunia, setiap kali
usahanya berkembang pesat, seketika itu ia menghentikannya dan memulai
pekerjaan lain dari titik nol, layaknya sufi zaman dahulu, hal ini menunjukkan
bahwa ia adalah sosok kyai yang zuhud. Tujuan bekerjanya hanya untu7k ibadah
dan menjalankan perintah Allah SWT semata. Dengan memulai dari nol lagi tentu
banyak kesulitan yang ia hadapi, dan dengan begitu, semakin banyak bahala yang
akan didapat dari jerih payahnya (الأجر بقد التعب) .
Dalam
pandangan kyai Fadhal, segala sesuatu harus diniatkan untuk ibadah, bahakan
dalam memberi nafkah istrinya pun tidak lepas dari upaya meraup pahala
sebanyak-banyaknya, ia tidak pernah memberikan nafkah langsung untuk sehari,
nafkah pagi diberikan di pagi hari dan nafkah siang diberikan disiang haari,
dan nafkah sore diberikan disore hari, ketika berliau ditanya tentang hal itu
beliau menjawab, "Agar banyak niatnya, sehi8ngga banyak pula
pahalanya."
Dalam
keseharian, kiai Fadhal hidup sangat bersahaja, ia tidak pernah menampakkan
diri sebagai seorang ulama' jika bepergian ia selalu memakai sepedah motor
buntut, ketika menghadiri ta'ziyah KH. Zubair ayah KH. Maimun Zubair sarang, ia
tidak dihiraukan banyak orang, karena memakai baju yang lusuh dan songkok hitam
yang berubah warnanya menjadi merah , orang-rang baru tahu kalau itu dia adalah
Kiyai Fadhal setelah Kyai Maimun Zubair menghadangnya ditengah jalan dan
menciumi tangannya, kyai Fadhil tidak pernah keluar rumah dan waktunya banyak
ia habiskan untuk mengajar dan mengarang kitab.
Disiplin
Sejak
kecil Kiai Fadhal telah menampakkan keistimewaannya sesekali pun nakalnya luar
biasa kecerdasan dan keberanianya diatas rata rata, setiap ada tamu yang sowan
pada abahnya, yakni kiai Abdus Syakur, air minum yang disuguhkan pasti dicicipi
lebih dahulu. Sikap itu seperti seorang guru yang memberi berkah pada
santrinya. Ia juga suka bermain di markas belanda yang ada didepan rumahnya,
dengan santai dan percaya diri ia bercengkrama dan bercanda dengan laskar
kompeni belanda kala itu. Tak heran bila ia mampu berbahasa belanda dengan
fasih.
Di
saat usianya menginjak 9 tahun, ia sudah hafal Alqur'an, ini dilakukannya dalam
waktu dua bulan saja, padahal orang butuh waktu 3-4 tahun dalam menghafal
Al-Qur'an. Lima belas awal ia hafalkan dalam waktu satu bulan pertama dimana
setiap jus ia baca 3 kali dalam satu jalsah (duduk) dan langsung hafal,
sedangkan lima belas jus akhir juga ia tempuh dalam waktu satu bulan juga
dengan metode setengah jus ia baca 3 kali dan langsung hafal. Kiai Abul fadhil
memang termasuk orang yang jenius, sewaktu kecil ia sering menguping abahnya
yang mengajar ngaji para santri. Bila sang abah Abah selesai mengajar, giliran
dirinya membaca kitab yang sama sembari menerangkan isinya dengan keterangan
yang sama persis dengan yang disampaikan Abahnya, ia hafal Syiir – syiir yang
termaktub dalam kitab Ihya Ulumidin hanya dengan menyimak abahnya
membaca karya Imam Ghozali itu.
Kiai
hanya menimba ilmu pada Ayahnya dan KH. Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang. Pada
saat khatam kitab jurumiyah, ia sudah bisa membaca kitab Fathul Qorib, sewaktu
khatam kitab Kafrawi, ia bisa
membaca kitab Fathul Wahab, ketika Khatam kitab Alfiyah dalam usia 11 tahun, ia
sudah bisa mengajar dan sekaligus menulis kitab, ketika khatam Uqudul Juman,
gaya dan tata bahasa karangannya menjadi penuh warna dan bernilai sastra
tinggi. Metode yang ia gunakan dalam mengajar santri-santrinya adalah sorogan
dengan satu judul kitab sampai khatam, setelah itu ganti mengkaji kitab yang
lain. Ini ditujukan agar kitab yang dikaji benar-benar bisa difahami, ia
berpesan pada murid-muridnya bahwa Al-Ilmu Fir Ro'si la fi Karrosi (Ilmu itu
di kepala bukan di kertas). Seringkali ia mengajar tanpa menggunakan kitab
panduan dan berhasil mendiktekan isi kitab itu kepada santri-santrinya tanpa
satu lafaz pun yang terlewati,
Kiai
Fadhal terkenal sangat disiplin mendidik santri-santrinya, ia senantiasa
menghardik mereka yang terlambat mengaji, meski hanya sartu menit, "
nek gak niat ngaji mbalek ae! ("Kalau gak niat mengaji pulang
saja!") demikian ucapan yang sering ia lontarkan kepada santri santrinya
yang teledor. Kedisiplinan inilah yang belakangan hari diteladani muridnya,
yakni KH. Maimun Zubair, KH. Abdullah Faqih. Semasa hidupnya, Kiai Fadhal tidak
memiliki santri banyak karena memang namanya tidak terkenal, Namun begitu,
santri-santrinya menjadi ulama berkat tangan dinginnya dalam mengajar.
Selain
allamah (sangat alim), kiai Fadhal juga juga dikenal sebagai pribadi
yang ahli ibadah, jika jam menunjukkan jam satu malam, ia bangun untuk
melakukan qiyamullail sampai subuh. Malam-malam yang hening itu ia lalu dengan
zikir, membaca Al-Qur'an dan tafakkur kepada sang Khalik dikamar pribadinya.
Ketika menjelang subuh, ia membaca Hizib Saifi Mughni, Hizib Nashr dan Hizib
Bahr.
Ia
selalu melakukan Sholat Fardhu di awal waktu, dalam sebulan ia bisa khatam
Al-Qur'an sebanyak 60 kali, setiap 10 hari ia mengkhatamkan satu kitab besar,
demi menambah wawasan pengetahuannya. Itupun ia baca dengan hasil setengah
hafal, terbukti ketika ia ditanya mengenai permasalahan, ia bisa memberi
jawaban disertai teks dalilnya, baginya, seakan-akan tidak ada masalah musykil,
sehingga tak heran jika KH. Maimun Zubair menjulukinya sebagai "Sang kamus
Berjalan" Bila memberi tausyiyah atau khutbah ia senantiasa serius,
kata-katanya menyentuh perasaan sehingga para pendengarnya khusyuk bahkan tak
jarang menangis tersedu sedu karena terbawa perasaan.
Kiai
penuh inspirasi ini telah menghasilkan banyak karya tulis, karena ia produktif
menulis sejak masih berusia remaja, sayang, karya tulisnya banyak yang musnah,
tatkala Tuban dilanda banjir besar pada tahun 1971, sebagian karyanya yang lain
dibawa murid-muridnya. sewaktu mengajar, Kiai Fadhal selalu menulis kitab
sebagai materi pelajarannya, baik berbentuk natsar maupun berbentuk nadzom,
setelah khatam, ia memberikan kitab karangannya itu pada murid muridnya yang
mengaji, diantara karangan Kiai Fadhal yang beredar luas adalah : Tashilul
Masalik Syarah Alfiyah Ibnu Malik, Kasyfuttabarih Fisholati Tarawih, Ahlal
musamarah fi Bayani 'Auliyail 'Asyroh, dan Durrul Farid Fi Ilmi Tauhid, selain
itu, ada sejumlah karangan yang belum ia selesaikan, seperti Nadhom Bahjatul
Hawi, dan Nadzom Jam'ul Jawami', sebagian Karya kiai Fadhal telah di cetak dan
tersebar luas di Timur tengah.
Dikutip dari Majalah Cahaya Nabawi edisi
No.138 th. IX Rajab 1436/Mei 2015 Hal : 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar